Sah-sah saja sebenarnya ketika
seseorang memiliki sebuah idealisme tertentu dalam suatu bidang tertentu.
Seperti misalnya dalam hal kesehatan, ada sebagian orang menyatakan bahwa
idealnya manusia harus mengkonsumi sedikitnya 1,5 liter air mineral selain dari
makanan dan minuman lainnya dalam setiap hari. Tetapi ada juga yang menyatakan
bahwa setiap manusia tidak membutuhkan sebanyak 1,5 liter air mineral dalam
setiap harinya. Karena pada kenyataannya beberapa makanan yang kita konsumsi
setiap hari mengandung kadar air yang cukup melimpah. Tetapi yang harus digaris
bawahi dalam kasus ini, bahwa setiap manusia membutuhkan 1,5 liter air dalam
sehari. Baik itu dalam bentuk air mineral murni ataupun air yang terkandung
dalam makanan (buah, sayur, dsb). Begitu pula dengan idealisme kita sebagai
bangsa Indonesia, banyak orang memiliki idealisme berbeda dalam memperjuangkan
nasionalisme. Tetapi pada intinya nasionalisme perlu untuk diperjuangkan.
Ideal itu
memiliki cara atau jalan yang berbeda, tetapi yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana esensi dari sebuah idealisme tersebut. Kita bisa secara subjektif
memberikan arti pada sebuah benda ataupun sebuah pernyataan. Tetapi pada
faktanya sebuah benda dibuat ataupun sebuah pernyataan dilontarkan memiliki
objektifitas yang tidak dapat diartikan secara berbeda. Sebagai contoh sebuah
kursi. Kursi dibuat oleh manusia pada awalnya memiliki fungsi yang benar, yaitu
untuk duduk. Tetapi apakah bisa, ketika sebuah kursi digunakan untuk
menggantikan fungsi meja, atau digunakan sebagai senjata tawuran?! Pada
akhirnya beberapa orang akan melontarkan pertanyaan ,”Sehingga, apakah ada yang
namanya kebenaran mutlak? Atau, kebenaran itu relatif?
Jawaban
singkatnya ya, ada kebenaran mutlak! Jikalau kita berkata tidak ada kebenaran
mutlak dan kebenaran itu relatif adanya. Maka bisa dikatakan pernyataan
“Kebenaran itu relatif” menjadi salah?! Karena pernyataan “Kebenaran itu
relatif” dapat disimpulkan menjadi sebuah pernyataan yang relatif. Sebab di
dalam dunia tidak ada kebenaran yang mutlak, jika kita berpikir “Kebenaran itu
relatif.” Kembali dalam idealisme, idealisme harus didasarkan pada sesuatu yang
mutlak dan kebenaran mutlak hanya milik Allah dan kebenaran utama hanya dimiliki
pencipta yang sempurna dan tak bercacat seperti kita manusia. Karena itu
idealisme bukan hanya benar secara logika dunia tetapi juga benar secara moral
Allah.
Namun ketika
manusia belajar menjadi idealis, terkadang manusia lupa bahwa dirinya hidup
dalam dunia yang nyata dan riil adanya. Suatu hal yang idealis memang terkesan
membawa kita berpikir ke arah menuju ke kesempurnaan. Suatu hal yang besar, dan
suatu hal yang mulia. Hal itulah yang membawa setiap orang jatuh ke dalam
kebohongan yang diciptakan dalam dirinya sendiri. Kenapa kebohongan, karena
pemikiran idealis kita kadang memaksa kita dan meyakinkan kita bahwa hal-hal
yang jauh dari standar ideal kita tidak sepatutnya didekati atau dialami. Nah,
pertanyaannya jika kita ingin pandai berbicara di depan umum apakah kita tidak
pernah melalui yang namanya susah berbicara di depan umum. Apakah setiap orang
yang ingin meraih apapun tidak pernah mengalami yang pertama kali? Bukan
kesempurnaan yang membuat kita sempurna. Tetapi usaha kita untuk menjadi
sempurna yang menjadikan kita smpurna. Michael Jordan yang dikenal dan telah
menjadi legenda dalam dunia olah raga basket tidak serta merta menjadi piawai
dalam bermain bola basket semenjak lahir. Michael Jordan harus melalui yang
namanya latihan fisik, latihan mental, bahkan kegagalan sebelum pada akhirnya
dia dikenal sebagai pemain legendaris dan pemain terbaik dunia sepanjang zaman
dalam olah raga bola basket.
Kita memang
harus jadi baik dan terbaik, tetapi untuk mencapai hal tersebut tidaklah salah
jika kita pernah mengalami ketidakmampuan, kekalahan, kejatuhan dan kegagalan.
Sebagai manusia yang masih hadir secara fisik di dalam dunia, sudah seharusnya
kita berpikir realistis juga. Berpikir tidak hanya di awang-awang tetapi juga
berpikir secara nyata apa yang dapat/tidak dapat dilakukan. Ada bedanya
mungkin/tidak mungkin dan bisa/tidak bisa. Bisa/tidak bisa itu akan selalu mungkin,
seperti misalnya pernyataan, “orang miskin menjadi presiden.” Jawabanya bukan
mungkin/tidak mungkin, tetapi bisa atau tidak bisa. Tetapi jika ada sebuah
pernyataan “Manusia bisa hidup di luar angkasa tanpa alat bantu apapun.” Hal
tersebut bukan lagi bicara bisa/tidak bisa, tetapi bicara soal mungkin/tidak
mungkin. Tuhan memberikan kita akal budi dan pengetahuan, salah satunya supaya
kita bisa bertindak realistis untuk mencapai idealistis yang kita bangun. Hal
ini bukan suatu yang bertentangan, justru saling bergandengan tangan, justru
saling membangun dan justru jika tidak ada dari salah satunya maka semuanya
akan sia-sia.
Jadilah orang
yang idealis dan realistis. Bukan merujuk ke salah satu, tetapi melakukan
kedua-duanya. Idealis tanpa realistis membuat kita hanya jadi pemimpi dan
sebaliknya, realistis tanpa idealis membuat kita hanya jadi pejuang tanpa visi.
No comments:
Post a Comment